Kamis, 30 Agustus 2012
Senin, 27 Agustus 2012
Kemeriahan HUT RI ke-67
Kemeriahan
HUT RI ke-67
Kemerdekaan
RI
ke-67 pada
tanggal 17 Agustus 2012 yang jatuh pada hari Jumat, tepat dua hari sebelum
Lebaran, bukan hanya diselenggarakan secara protokoler oleh Pemerintah saja.
Anak-anak di kampung dan di pelosok gang-gang sempit kota besar dengan semangat
kebersamaan merayakannya dengan lomba-lomba kecil penuh kemeriahan.
Tema
HUT
RI
kali ini adalah “Dengan Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, Kita Bekerja Keras
untuk Kemajuan Bersama, Kita Tingkatkan Pemerataan Hasil-hasil Pembangunan
untuk Keadilan AASosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Hal ini mencerminkan
sikap kebersamaan Bangsa Indonesia sebagai prioritas dalam membangun bangsa,
sekaligus bersama-sama secara adil dan merata memperoleh hasil-hasil
pembangunan. “Bersatu dalam berbagai warna”.
Warga
yang tinggal di jalan Tukad Banyupoh Gang IX Denpasar, Bali, tergolong
heterogen yang terdiri dari Hindu dan Muslim. Namun sikap toleransi dan
kebersamaan selalu terjaga dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mempersiapkan
perlombaan anak-anak, dari sehari sebelumnya, kaum ibu-ibu secara swadaya
membeli segala keperluan lomba.
Kegiatan
lomba sebenarnya dimaksudkan untuk mempererat tali persatuan warga yang
dinikmati oleh anak-anak sebagai sebuah bentuk pendidikan karakter. Di tengah
situasi bangsa dengan kemerosotan moral oleh isu SARA dan politik, anak-anak
seyogyanya dipertontonkan sikap-sikap toleransi sejak dini, kebersamaan dalam
perbedaan warna, karena dengan persatuan dan kebersamaanlah kemerdekaan dapat
diraih oleh para pejuang dahulu.
Dengan
gegap gempita anak-anak mengikuti kegiatan lomba. Mulai lomba makan kerupuk,
memasukkan paku dalam botol, lari kelompok sampai lomba memangku balon
dilakukan untuk memeriahkan HUT RI ke-67. Bagi anak-anak, kalah menang bukanlah
persoalan. Yang terpenting adalah generasi muda saat ini menyadari bahwa
kemerdekaan ini harus diisi dengan kegiatan-kegiatan yang berguna bagi nusa dan
bangsa.
Belajar
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku
sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat.
Belajar merupakan akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu
jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam
belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon.
Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan
pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang
terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa
yang diterima oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur.
Belajar sosial
Belajar sosial (juga dikenal sebagai belajar
observasional atau belajar vicarious atau belajar dari model)
adalah proses belajar yang muncul sebagai fungsi dari
pengamatan, penguasaan dan, dalam kasus proses belajar imitasi, peniruan
perilaku orang lain. Jenis belajar ini banyak diasosiasikan dengan penelitian Albert Bandura, yang membuat teori belajar sosial. Di dalamnya
ada proses belajar meniru atau menjadikan model tindakan orang lain melalui
pengamatan terhadap orang tersebut. Penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya
hubungan antara belajar sosial dengan belajar melalui pengkondisian klasik dan
operant.
Banyak yang secara salah
menyamakan belajar observasional dengan belajar melalui imitasi. Kedua istilah
ini berbeda dalam arti bahwa belajar observasional mengarah pada perubahan
perilaku akibat mengamati model. Ini tidak selalu berarti bahwa perilaku yang
ditunjukkan orang lain diduplikasi. Bisa saja si pengamat justru melakukan
sesuatu yang sebaliknya dari yang dilakukan model karena ia telah mempelajari
konsekuensi dari perilaku tersebut pada si model. Dalam hal ini adalah belajar
untuk tidak melakukan sesuatu dan ini berarti terjadi belajar observasional
tanpa adanya imitasi.
Walau belajar observasional dapat
terjadi dalam setiap tahapa kehidupan, tapi terutama terjadi saat pada anak-anak, karena pada saat itu otoritas dianggap penting. Penelitian Bandura mengenai boneka Bobo merupakan
demonstrasi dari belajar observasional dan ditunjukkan bahwa anak cenderung
terlibat dalam perlakuan yang bengis terhadap boneka setelah melihat orang dewasa di televisi melakukan hal tersebut pada boneka yang sama. Bagimanapun,
anak mungkin akan melakukan peniruan bila perilaku model mendapat penguatan.
Permasalahannya, seperti diteliti oleh Otto Larson (1968), bahwa 56% karakter
dalam acara televisi anak mencapai tujuannya melalui tindakan kekerasan.
Langganan:
Postingan (Atom)